Aku baru pulang dari rumah Tuhan. Dari sanalah aku mengambil segenggam pasir yang sekarang berkalung di leherku ini. Dari sana, aku menemukan sejuta ketenangan yang tidak kutemukan di kampungku dulu. Rasanya waktu berputar begitu cepat. Aku terlalu sering larut di dalam sujud di lantai rumah Tuhanku itu. Saat itu aku mengerti, mengapa nabiku dulu menikmati setiap sujud hingga rela mengorbankan waktu bermalamnya.
Cinta mampu membutakan apapun. Bahkan nabimu.
Kembali ke nama yang keseratus. Aku dulu pernah mendengarkan sebuah kisah, tentang Tuhan yang memberitakan 99 nama-Nya kepada umat manusia. Namun, cuma satu nama yang Dia simpan khusus kepada para kekasih-Nya. Entah mengapa, aku ingin menjadi kekasih Tuhan itu. Aku ingin menjadi dia yang Dia cintai.
Guruku, yang dulu sering menceritakan tentang nabi yang aku cintai itu, dia adalah salah seorang yang telah menemukan nama yang keseratus. Aku pernah mencoba-coba guruku itu, karena saat itu aku tidak mempercayainya. Pikirku, dia cuma membual untuk menaikkan pamornya di hadapan semua murid. Aku tanya, “bukankah dengan mengetahui nama yang keseratus, Tuhan tidak akan pernah menolak doa kita, Guru?”
Guruku tersenyum, “Ya!”
“Kalau begitu, pintalah sebuah mukjizat kepada Tuhan. Aku ingin engkau bisa terbang sekarang juga.”
Semua murid melihatku. Aku tidak peduli. Semua murid melihatku. Aku tidak peduli. Semua murid melihatku. Aku tahu apa yang ada di dalam hati mereka, tentu mereka dengki, pastilah mereka sinis dengan kelancanganku terhadap guru. Seperti awal aku katakan, aku tetap tidak peduli.
Guru tertawa. Terbahak dengan nyaring sampai aku bingung. Kenapa dia tertawa?
“Apa pentingnya sebuah mukjizat?” tanyanya dengan senyuman ramah. “Tuhan tidak butuh semua mukjizat, cuma manusia bodoh yang membutuhkan. Makanya Tuhan memberikan mukjizat kepada para nabi agar kaum mereka yang bodoh percaya tentang suatu kuasa di luar kekuasaan mereka.
“Dan kau tentu bukan orang yang bodoh bukan?” Guruku tersenyum aneh.
Aku memang terkadang angkuh, namun seperti tersihir, aku termakan perangkap guruku. Aku yang tidak peduli dengan semua orang mulai aneh, aku takut mereka menganggapku bodoh.
“Untuk apa mukjizat, jika aku adalah mukjizat itu sendiri?” Guruku melanjutkan bualannya. Lalu kemudian tertawa. Kemudian semua murid ikut tertawa, kecuali aku.
Pada suatu malam, ketika aku mulai bosan dengan segala tingkah guruku yang terlalu sering membual itu. Yang tidak malu berbohong telah mendapatkan nama Tuhan yang keseratus — entah memang ada pikirku, saat itu aku hendak buang air kecil. Ketika sudah selesai dan hendak kembali, aku terlihat kamar guruku. Kamar itu terang sekali, begitu bercahaya. Takut-takut, dengan kaki berjinjit, aku mendekati kamar guru. Saat itu aku terkesima. Guruku ternyata bukan pembohong. Saat itu aku melihat, dia bersujud di tanah, namun tidak menyentuh tanah. Dia melayang. Terbang.
Mulai malam itu aku mengubah semua persepsiku terhadap guru. Semua wejangannya aku ikuti, aku turuti. Semua kata dari lisannya aku catat dengan seksama. Semua murid heran. Aku tidak peduli. Dan guruku sepertinya mahfum, dia lebih sering tersenyum kepadaku, dan sering menepuk pundakku.
Dari cerita guruku tentang 99 nama Tuhan, juga tentang nama yang keseratus. Aku menjadi percaya, bahwa Tuhan tidak cuma disebut dengan satu nama. Kita semua boleh memanggilnya dengan nama apa saja. Dan Tuhan mengajari kita dengan beberapa nama agar kita mencintainya lewat nama-nama itu. Agar kita menjadi kesatuan dengan setiap nama.
Salah satu nama Tuhanku adalah Rahim. Dia yang penyayang. Tuhanku adalah Tuhan yang paling penyanyang. Dia cukupkan udara bagiku agar aku tidak kesusahan, dan tegakkan punggung-punggungku agar aku mampu berdiri serta berlari. Dia kuatkan rahang-rahang dan gigiku agar aku mampu mengunyah dari apa-apa yang Dia tumbuhkan dari bumi. Agar aku tetap hidup, untuk tetap mencintai-Nya.